Kepulauan Kai
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kepulauan Kai (atau Kei) di Indonesia
berada di bagian tenggara Kepulauan Maluku, termasuk
dalam Provinsi Maluku
Geografi
Penduduk setempat menyebut kepulauan
ini Nuhu Evav
("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"),
tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau
tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis
berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar.
Kepulauan Kai terdiri atas sejumlah
pulau, di antaranya adalah
- Kei Besar atau Nuhu Yuut atau Nusteen
- Kei Kecil atau Nuhu Roa atau Nusyanat
- Tanimbar Kei atau Tnebar Evav
- Kei Dulah atau Du
- Dulah Laut atau Du Roa
- Kuur
- Taam
- Tayandu atau Tahayad
(Setelah Pemekaran Kota Tual tahun
2008 sebagai Kota Administratif, maka Pulau Dullah, Pulau Kuur, Pulau Taam dan
tayando menjadi daerah Kota Tual, sedangkan Pulauh Kei Kecil, Kei Besar,
Tanimbar kei menjadi Daerah Kabupaten Maluku Tenggara (Kabupaten Induk) dengan
Ibukota Kabupaten Langgur (Terletak di pulau kei kecil). Sejak 1 Januari 2010
Pusat pemerintah kabupaten maluku tenggara resmi berada di langgur walaupun
penyerahan aset kabupaten ke pemerintah kota tual baru dilaksanakan tanggal 23
januari 2010)
Selain itu masih terdapat sejumlah
pulau kecil tak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kai adalah 1438
km² (555 mil²).
Kei Besar bergunung dan berhutan
lebat. Kei Kecil datar dan memiliki populasi terbanyak. Pulau ini sebenarnya
merupakan sebuah pulau koral yang terangkat ke permukaan laut. Ibukota
kepulauan ini adalah Kota Tual, yang mayoritas warganya beragama Islam. Tak jauh
dari Tual terletak Langgur yang
merupakan pusat bagi warga Kristiani. Kei termasyhur berkat keindahan pantai-pantainya, misalnya
pantai Pasir Panjang.
Kepulauan Kai merupakan bagian dari
daerah Wallacea, kumpulan
pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng Benua Asia maupun Australia,
dan tidak pernah tersambung dengan kedua benua tersebut. Sebab itu, hanya
terdapat sedikit jenis mamalia lokal di Kepulauan Kai.
Sejarah
Prasejarah
Tom Goodman bersama tim ekspedisi Duyikan
dari Universitas Hawaii adalah salah satu dari beberapa ilmuwan asing yang meneliti
gua
kuno Ohoidertavun
yang berada pada ketinggian sekitar 15 meter dari permukaan laut di Kei Kecil.
Di sekitar gua kuno ini ditemukan dinding batu sepanjang 200 meter yang terukir
apik dengan beragam gambar dan lukisan/tulisan kuno. Lukisan kuno yang
terpajang di dinding goa Ohoidertavun menggambarkan beragam kehidupan
masyarakat di masa lampau dalam kaitannya dengan alam sekitarnya seperti matahari,
bulan,
dan bintang,
serta perahu
sebagai sarana transportasi, kehidupan fauna dan flora, bahkan lukisan topeng.
Pada situs tersebut juga tergambar lukisan mengenai seni tari gembira sebagai
ungkapan syukur yang lebih terfokus pada kehidupan religius. Lukisan di dinding
goa Ohoidertavun mengekspresikan tingginya kebudayaan bangsa Indonesia pada
ribuan tahun silam yang memiliki spesifikasi yang serupa dengan karya lukisan
masyarakat asli Papua dan Australia. Adanya kemiripan sejarah dan budaya ini mengundang
perhatian khusus Direktur/Produser Film dari Australia, Marcus Gillezeau untuk
mengabdikannya dalam film dokumenter untuk disebarluaskan ke seluruh dunia guna
mengundang semakin banyak ilmuwan, wisatawan, dan petualang berkunjung ke
daerah rempah-rempah ini, yang pernah kesohor di masa lalu.
Apa yang ditemukan di goa
Ohoidertavun merupakan sesuatu yang tergolong langka, unik, dan luar biasa menarik
untuk diteliti dan dikaji, ungkap
Marcus. Karenanya perlu diangkat ke permukaan untuk dipromosikan karena lukisan
tangan para leluhur yang tergolong langka di tebing batu setinggi 24 meter itu
secara antropologi mengisyaratkan adanya semacam kesamaan hubungan keturunan
antara suku asli Kepulauan Kei dengan penduduk asli Australia.
Sejarah
Lisan
Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak
memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad,
yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan tertentu
sebagai penjamin keontentikan hikayat itu. Sebagian besar hikayat ini dibumbui
dongeng atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap sepenuhnya benar secara
harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada umumnya.
Menurut hikayat setempat, leluhur
orang Kei berasal dari Bal (Bali), wilayah
kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar
dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra.
Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra
menepi di Desa
Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama
kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan dijadikan pusat
pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan
tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di
Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang
dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga
kerajaan itu dulu berlabuh.
Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu
adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian
pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang
mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah
Sadeu, atau Sadewa, atau pun Dewa.
Selain Bali, orang Kei yakin bahwa
negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Jailolo dan Ternate).
Zaman
modern
Pulau kecil Tanimbar-Kei bukanlah
bagian dari Kepulauan Tanimbar, melainkan bagian dari Kepulauan Kai dan berpenghuni kurang
dari 1000 jiwa, warganya sangat tradisional. Setengah dari populasi pulau ini
mengaku beragama Hindu, namun kenyataannya mereka mempraktekkan pemujaan leluhur,
yakni sistem religi asli Kepulauan Kai.
Pada tahun 1999 pecah kerusuhan
antara warga Muslim dan Kristiani di Kota Ambon yang kemudian merambat pula ke Kepulauan Kai, akan tetapi
dengan cepat mereda serta tidak banyak menelan korban jiwa.
Bahasa
Ada tiga bahasa rumpun austronesia
yang dipertuturkan di Kepulauan Kai; Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling
luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau
sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur)
dalam percakapan sehari-hari, Bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca.
Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El)dan Banda-Elat
(Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar. Para Pengguna
Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana bahasa itu tidak lagi
digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem tulisan sendiri. Para misionaris
Katolik dari Belanda menuliskan kata-kata Bahasa Kai dengan suatu bentuk
variasi penggunaan abjad Romawi.
Kosa
Kata
Beberapa kata dalam Bahasa Kei
memiliki fonem V (seperti V pada Via dalam Bahasa Latin) yang berbeda dengan fonem F dan P.
Penduduk wilayah Utara Pulau Kei Besar membedakan fonem R seperti pada kata Rata
dalam Bahasa Indonesia, dengan fonem R seperti pada français /fʁɑ̃ sɛ/
dalam bahasa Perancis. Meskipun demikian, dalam bentuk tertulis, kedua fonem
ini tidak dibedakan.
Kosa kata Bahasa Kei modern mencakup
banyak kata serapan dari banyak bahasa lain terutama Bahasa Melayu. Sebagian
besar adalah nomina, yakni nama beberapa benda yang baru dikenal masyarakat
Kepulauan Kei pada akhir abad ke-19. Kata-kata yang memiliki huruf P dan G
dapat dipastikan merupakan kata serapan, karena kedua fonem tersebut tidak
dikenal dalam kosa kata Bahasa Kei asli.
Contoh beberapa kata serapan :
- Gur = Guru
- Agam, Angam, Ayngam = Agama
- Masikit = Masjid
- Pen = Pena
Ucapan
Salam
- Fel be / Fel be he : Apa khabar?
- Bok át / Bok bok wat: Baik-baik saja
Peribahasa
- Adat en'ot rat na'a dunyai : Adat menciptakan raja di dunia, artinya terhormat atau tidaknya seseorang bergantung pada perilaku dan tutur katanya.
- Vu'ut ain mehe ngivun ne manut ain mehe ni tilur : Telur dari satu ekor ikan saja, dan telur dari satu ekor ayam belaka; artinya semua orang itu pada hakikatnya bersaudara, laksana banyak telur yang berasal dari satu ekor ikan atau satu ekor ayam saja. ini merupakan peribahasa yang paling terkenal di daerah kai.
- Sar Sangongo weat yaf: Laksana ngengat menggoda api; pepatah ini adalah peringatan halus bagi para pemberani yang suka bermain-main dengan bahaya.
- Lakur roa loat nangan: Ikan kakatua di laut, belut di darat; artinya mudah untuk berbicara tetapi sulit untuk dilaksanakan (oleh: Chres Balubun, Ohoi-El, Kei Besar)
- Flor nit sob Duad, hoar taup lai you : menyembah Tuhan sambil penghormatan terhadap Leluhur yang sudah tiada (oleh: Chres Balubun, Ohoi-El, Kei Besar)
- Lar nakmot na ivud: (Biarkan) darah tergenang di perut; kalimat ini merupakan peringatan untuk tidak mengeluarkan darah dari tubuh sesama manusia (leluhur Evav beranggapan bahwa tempat darah di dalam tubuh adalah di perut). Kalimat ini juga merupakan salah satu pasal hukum adat Evav yang mengutuk semua tindak kekerasan, biang keladi pertumpahan darah.
- Teen fo teen, yanat fo yanat: Orang yang tua tetap menjadi orang yang tua, anak tetap menjadi anak. Artinya, orang yang tua hendaknya bertindak sebagaimana seharusnya mereka bertindak, sedangkan tuntutan bagi seorang anak adalah menghormati orang yang tua dalam sikap, tutur kata dan perbuatannya. Seorang anak harus memposisikan diri sebagai seorang anak di hadapan orang yang tua (Dimas Remetwa, di Manado)
- Toil u ne savak mur: Menatap ke depan dan menoleh ke belakang; manusia mesti senantiasa mengupayakan masa depan yang lebih baik sambil belajar dari pengalaman di masa lampau.
- Omwal vuan fo ler, ler fo vuan af ken nablo entub ni wai entau ni wain: Engkau membalik bulan menjadi matahari, matahari menjadi bulan, hal yang benar dan lurus akan tetap berada pada tempatnya (Neny Remetwa di Manado)
Hukum
Adat Evav
Secara lengkap hukum adat Evav yang
disebut Larvul Ngabal itu terdiri atas tujuh pasal, yaitu:
- Ud entauk atvunad (kepala kita bertumpuh pada leher kita) maknanya, atasan (Yang Tertinggi, pemimpin, orang-tua) melindungi bawahan (manusia, rakyat, anak) menjunjung atasan.
- Lelad ain fo mahiling (leher kita diluhurkan) maknanya, hidup manusia diluhurkan.
- Ul nit envil atumud (kulit membungkus tubuh kita) maknanya, harkat martabat manusia dihormati.
- Lar nakmot ivud (darah berdiam di perut kita) maknanya, keselamatan manusia dilindungi.
- Rek fo mahiling (Ambang batas kamar diluhurkan) maknanya, batas-batas kesusilaan (kehormatan wanita) diluhurkan.
- Moryain fo kelmutun (tempat tidur keluarga dimurnikan) maknanya, perkawinan (kehormatan rumah-tangga) dimurnikan.
- Hira ni tub fo ni, it did tub fo it did (miliknya tetap menjadi miliknya, milik kita tetap menjadi milik kita) maknanya, hak milik seseorang (kaum) diakui dan dihormati.
Pasal 1, 2, 3 dan 4 disebut juga
hukum adat Navnev (hukum kehidupan), pasal 5 dan 6 disebut juga hukum adat
Hanilit (hukum kesusilaan), dan pasal 7 disebut hukum adat Hawear Balwirin
)hukum keadilan sosial). Ketiga tema hukum itu (Navnev, Hanilit dan Hawear
Balwirin) masing-masing dilengkapi dengan tujuh pasal larangan hukum adat, yang
disebut Sa Sor Fit (tujuh lapis kesalahan/pelanggaran). Beno Mairuma di
Surabaya
Perekonomian
Kepulauan Kei dianugerahi terumbu
karang yang produktif dan berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti
kebanyakan masyarakat Maluku, mata pencaharian orang Kei merupakan suatu
kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan
sekitar pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun
komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka
Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa
terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar Kepulauan
Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder; keluarga-keluarga umumnya
menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok tanam. Warga desa menangkap ikan
dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala, atau dengan
mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai
pada saat air laut surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan
jaring nilon dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian
hasil panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota
Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan
cangkang kerang lola (Trochus niloticux), usaha dagang eceran, sumbangan dari
anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.
Selain daripada Teripang, terdapat
pula LOLA yang merupakan hasil laut di kepulauan Kei. Hrga LOLA perkilonya bisa
mencapai 50ribu rupiah..(by: CHRES BALUBUN, Ohoi-El,Kei Besar)
Seni
Budaya
Alat
Musik
Alat musik tradisional di Kepulauan
Kai adalah:
- Savarngil (Suling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada.
- Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
- Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.
Tarian
Sosoy Temar-Rubil (Tarian Perang)
yang penuh semangat hanya ditarikan oleh kaum pria, sementara tarian yang
lembut seperti Sosoy Kibas (Tari Kipas) hanya ditarikan oleh kaum wanita.
Gerakan-gerakan yang tidak terlampau lembut maupun beringas hanya terdapat
dalam Sosoy Sawat (Tarian Pergaulan) dan Sosoy Yarit (Tarian Umum), dan oleh
karenanya dapat ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung
dan lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar Man-Vuun
(Tarian Penghormatan), namun gerak-gerik yang cepat dan lincah tidak terdapat
dalam tarian wanita. Tarian asli Kei umumnya diciptakan untuk tujuan
penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak. Hanya orang dewasa dan
remaja akil-balig yang diikutsertakan. Bahkan sosoy Swar Man-Vuun yang
dipentaskan di haluan "Bilan" (Perahu Kebesaran) dulunya hanya
ditarikan oleh pria yang sudah berkeluarga.
Penari wanita di kepulauan Kei juga
menggunakan Kipas, Yerikh (Daun lontar yang dikeringkan) dan Penari Pria
dapat menggunakan panah, parang, Tombak dan juga bulu Kasuari dan diikatkan
pada ujung tongkat berukuran kurang lebih 10 cm.
Seperti di banyak tempat di
Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial, orang Kei mengenal pula dansa ala
Eropa, dan kaum mudanya saat ini tidaklah jauh tertinggal dalam seni tari
kontemporer. Dansa Waltz, cha cha cha, dan bahkan joget dangdut umum dijumpai
dalam pesta-pesta mereka.
Sejarah Lisan
Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keontentikan hikayat itu. Sebagian besar hikayat ini dibumbui dongeng atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap sepenuhnya benar secara harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada umumnya.
Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.
Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau Sadewa, atau pun Dewa.
Selain Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Jailolo dan Ternate).
Ada tiga bahasa rumpun austronesia yang dipertuturkan di Kepulauan Kai; Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, Bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El)dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar. Para Pengguna Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana bahasa itu tidak lagi digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan kata-kata Bahasa Kai dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad Romawi.
Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar Kepulauan Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder; keluarga-keluarga umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok tanam. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai pada saat air laut surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian hasil panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan cangkang kerang lola (Trochus niloticux), usaha dagang eceran, sumbangan dari anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.
Selain daripada Teripang, terdapat pula LOLA yang merupakan hasil laut di kepulauan Kei. Hrga LOLA perkilonya bisa mencapai 50ribu rupiah..(by: CHRES BALUBUN, Ohoi-El,Kei Besar)
Alat musik tradisional di Kepulauan Kai adalah:
* Savarngil (Suling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada.
* Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
* Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.
Tarian
Sosoy Temar-Rubil (Tarian Perang) yang penuh semangat hanya ditarikan oleh kaum pria, sementara tarian yang lembut seperti Sosoy Kibas (Tari Kipas) hanya ditarikan oleh kaum wanita. Gerakan-gerakan yang tidak terlampau lembut maupun beringas hanya terdapat dalam Sosoy Sawat (Tarian Pergaulan) dan Sosoy Yarit (Tarian Umum), dan oleh karenanya dapat ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung dan lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar Man-Vuun (Tarian Penghormatan), namun gerak-gerik yang cepat dan lincah tidak terdapat dalam tarian wanita. Tarian asli Kei umumnya diciptakan untuk tujuan penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak. Hanya orang dewasa dan remaja akil-balig yang diikutsertakan. Bahkan sosoy Swar Man-Vuun yang dipentaskan di haluan "Bilan" (Perahu Kebesaran) dulunya hanya ditarikan oleh pria yang sudah berkeluarga. Seperti di banyak tempat di Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial, orang Kei mengenal pula dansa ala Eropa, dan kaum mudanya saat ini tidaklah jauh tertinggal dalam seni tari kontemporer. Dansa Waltz, cha cha cha, dan bahkan joget dangdut umum dijumpai dalam pesta-pesta mhttp://atoxeagle-eagleflyinghigh.blogspot.com/2009/03/mengenal-kepulauan-kei-maluku-tenggara.htmlereka.
Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keontentikan hikayat itu. Sebagian besar hikayat ini dibumbui dongeng atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap sepenuhnya benar secara harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada umumnya.
Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.
Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau Sadewa, atau pun Dewa.
Selain Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Jailolo dan Ternate).
Ada tiga bahasa rumpun austronesia yang dipertuturkan di Kepulauan Kai; Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, Bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El)dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar. Para Pengguna Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana bahasa itu tidak lagi digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan kata-kata Bahasa Kai dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad Romawi.
Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar Kepulauan Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder; keluarga-keluarga umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok tanam. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai pada saat air laut surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian hasil panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan cangkang kerang lola (Trochus niloticux), usaha dagang eceran, sumbangan dari anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.
Selain daripada Teripang, terdapat pula LOLA yang merupakan hasil laut di kepulauan Kei. Hrga LOLA perkilonya bisa mencapai 50ribu rupiah..(by: CHRES BALUBUN, Ohoi-El,Kei Besar)
Alat musik tradisional di Kepulauan Kai adalah:
* Savarngil (Suling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada.
* Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
* Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.
Tarian
Sosoy Temar-Rubil (Tarian Perang) yang penuh semangat hanya ditarikan oleh kaum pria, sementara tarian yang lembut seperti Sosoy Kibas (Tari Kipas) hanya ditarikan oleh kaum wanita. Gerakan-gerakan yang tidak terlampau lembut maupun beringas hanya terdapat dalam Sosoy Sawat (Tarian Pergaulan) dan Sosoy Yarit (Tarian Umum), dan oleh karenanya dapat ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung dan lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar Man-Vuun (Tarian Penghormatan), namun gerak-gerik yang cepat dan lincah tidak terdapat dalam tarian wanita. Tarian asli Kei umumnya diciptakan untuk tujuan penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak. Hanya orang dewasa dan remaja akil-balig yang diikutsertakan. Bahkan sosoy Swar Man-Vuun yang dipentaskan di haluan "Bilan" (Perahu Kebesaran) dulunya hanya ditarikan oleh pria yang sudah berkeluarga. Seperti di banyak tempat di Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial, orang Kei mengenal pula dansa ala Eropa, dan kaum mudanya saat ini tidaklah jauh tertinggal dalam seni tari kontemporer. Dansa Waltz, cha cha cha, dan bahkan joget dangdut umum dijumpai dalam pesta-pesta mhttp://atoxeagle-eagleflyinghigh.blogspot.com/2009/03/mengenal-kepulauan-kei-maluku-tenggara.htmlereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar